Harus Selalu Ngaca

Setelah sekian lama hidup tenang dari perkara-perkara yang membuat kepala geleng-geleng, ternyata di 10 hari terakhir Ramadhan masih saja ada grup/kelompok yang mengusik persatuan kaum muslimin. Bukan sulap tentu saja karena tentu ada upaya nyata untuk mengenyahkan itu dari beranda-beranda di dunia maya.

Tulisan ini mungkin bukan solusi bagi orang yang menutup nasihat apalagi yang sudah punya kavling di surga karena si penulis adalah manusia penuh dosa yang Allah senantiasa tutupi aib-aibnya.

Ada sebuah trend di kalangan tertentu yang senantiasa melihat kekurangan atau cacat dari orang lain. Rasa-rasanya kebenaran hanya milik mereka. Katanya kelompok di luar mereka ada sesatnya, kalau mereka ya suci dan lurus.

Sungguh, bukan karena kami anti nasihat. Tapi umbar kesalahan di ranah publik, kami kira bukan nasihat namanya.

Kalau sekiranya ada orang mampu menjadi jalan hidayah bagi ribuan atau jutaan orang, bukan orang-orang yang kita pikirkan, tapi orang-orang yang boro-boro ke masjid sholat aja mungkin setahun sekali, akankah kita iri? Aku sih yes. Bagaimana tidak, orang tersebut mendapatkan pahala-pahala dari orang-orang yang hijrah. Tapi iri dalam kasus ini bukan untuk membuat sang penerima pahala kehilangan nikmatnya, atau agar sang penerima hidayah kembali kufur. Iri disini karena merasa ingin hal yang sama, ingin menjadi jalan hidayah, ingin dapat banyak pahala.

Yang aneh, ada sekelompok orang yang selalu melihat cela dan dosa orang lain padahal kalau kita lihat kebaikannya, ma syaa Allah, laa haula walaa quwwata illa billaah. Bahkan sampai menyesatkan orang tersebut. Katanya, lebih baik masyarakat terseru oleh orang islam yang masih ada kesesatannya daripada terus dalam kekafiran. Ma syaa Allah, antum dari kavling surga sebelah mana?

Di zaman dengan kondisi semacam hari ini, ketika penjajahan masih merajalela, penghambaan kepada selain Allah masih marak, ketika Islam direndahkan dilecehkan dicap teror, ketika umat sedang berusaha menyatu dengan letupan perpecahan adu domba dari berbagai sisi.. aku kira bukan saatnya untuk nyinyir dengan sosok yang mampu menjadi jalan hidayah. Kalau iri, berjuanglah menjadi jalan hidayah bagi orang lain bukannya malah menjelek-jelekkan bahkan mencap sesat orang yang bisa menjadi jalan hidayah.

Orang yang jujur dengan dakwahnya, akan terlihat melalui siapa yang ia bina. Sama sekali tidak berharap pujian dengan banyaknya binaan atau jamaah. Karena balasan hanya dari Allah. Ia senantiasa melihat bobroknya diri dan kelebihan orang lain sehingga waktunya tak akan ada untuk mengoreksi orang lain. Ia selalu melihat celah dan titik positif dari siapa yang ia bina bukan justru mencela dosa-dosa mereka. Siapa kita menghitung dosa orang lain, bukan tugas kita, kita bukan malaikat!

Di tengah krisis ekonomi dan politik adu domba, alangkah bijaknya kita mengedepankan ukhuwah. Kita memang tidak sempurna tapi janganlah kita fokus padanya. Fokuslah pada potensi, hal positif, dan keummatan. Jangan jadikan perbedaan sebagai wajah karena semua orang berbeda. Ambilan irisan persamaan yang porsinya jauh lebih banyak dari pada perbedaan-perbedaan kita.

Akhirul kata, semoga kita dijauhkan dari iri dan dengki karena dua sifat ini membuat diri kita jadi paling menderita. Dua sifat ini sebenarnya adalah azab. Bagaimana tidak, senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang.

Comments

Popular posts from this blog

Belajar Sabar Lagi, Umar's Toilet Training

Ramadhan Jadi Ibu

Be Grateful First